Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Di Indonesia
LAMALIKI
PADAI (STK 19002)
BABI
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pemerintah Indonesia bertanggungjawab menetapkan pengelolaan
sumberdaya alam Indonesia bagi kepentingan seluruh masyarakat, dengan
memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini juga
berlaku bagi sumberdaya perikanan, seperti ikan, lobster dan udang, teripang,
dan kerang-kerangan seperti kima, dan kerang mutiara. Sumberdaya ini secara
umum disebut atau termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun, kemampuan alam
untuk memperbaharui ini bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi
sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya
akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan.
Penangkapan berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi
kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan
Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah
tereksploitasi penuh, mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa bahkan
sudah terkuras – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap
kurang (FAO, 2002). Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000
ternyata 5% lebih rendah dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak
termasuk Cina, karena unsur ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Sekali
terjadi sumberdaya sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian
penangkapan.Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP, sangat memahami
permasalahan penangkapan berlebih di perairan laut Indonesia Bagian Barat,
khususnya perairan pantai utara Jawa. Didorong oleh harapan publik dimana
sektor perikanan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP Indonesia
melalui peningkatan produksi hasil tangkap, DKP sekarang sedang mencari
‘sumberdaya yang tidak pernah habis’ tersebut di Indonesia Bagian Timur
(Widodo, 2003).
Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana perairan laut
Indonesia Bagian Timur bisa dikembangkan untuk perikanan tangkap dengan
memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Apakah perairan Indonesia Bagian
Timur termasuk bagian dari 25% perikanan tangkap dunia, yang menurut FAO bisa
dikembangkan lebih lanjut? Indonesia cenderung melakukan intensifikasi
perikanan tangkap. Artikel dari beberapa media yang menggambarkan keadaan
peningkatan armada penangkapan di Indonesia menggambarkan beberapa wilayah
perairan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, sementara beberapa wilayah
lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang. DKP mencoba mengangkat
masalah ini dan menyelesaikannya dengan cara memfasilitasi transmigrasi
nelayan..
Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengundang
investor asing untuk mengeksploitasi sumberdaya yang dianggap tidak akan pernah
habis: situs Kedutaan Inggris di Indonesia mengundang industri perikanan
tangkap di Inggris dalam memanfaatkan peluang ini (British Embassy, 2004),
melalui suplai armada perikanan yang digunakan, kemungkinan bersama ABK, alat
tangkap gill net, pukat harimau, pancing pole & line, pukat cincin, beserta
pelayanan konsultasi dan transfer teknologi.
1.2 Perumusan Masalah
Yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah Penangkapan
berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan
tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan
75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, mengalami tangkap
lebih atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras – hanya 25% dari sumberdaya
masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002).
Sekali terjadi sumberdaya yang sudah menipis, maka stok ikan
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan
penghentian penangkapan dan hal ini akan berdampak terhadap kehidupan
masyarakat (nelayan), pemasukan negara dan juga bagi ekosistem perairan laut.
1.3
Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dua aspek terkait
dengan sektor perikanan sebagai berikut:
- apakah stok perikanan Indonesia bisa terus dipertahankan meningkat dengan
meningkatnya laju eksploitasi dan
- pengembangan alternatif kebijakan perikanan tangkap
berbasis ekosistem dengan penekanan pada peranan Kawasan
Perlindungan Laut, KPL, sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap di
Indonesia, yang secara tradisional dipikirkan sebagai instrumen dari usaha konservasi
keanekaragaman sumberdaya hayati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pelestarian Perikanan Di Indonesia
Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada sumberdaya
produksi perikanan tangkap dan budidaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun
sumberdaya tersebut saat ini sedang berada dalam kondisi terancam. Penangkapan
ikan yang berlebihan, tidak mengikuti peraturan/undang-undang, serta tidak
dilaporkan (IUU), menjadi masalah yang sangat serius pada sektor perikanan di
Indonesia, termasuk pada perairan yang berbatasan dengan Australia ataupun
dengan negara tetangga lainnya.
Penangkapan ikan karang (Reef Fishing) sudah lama
menjadi sumber kehidupan jutaan masyarakat nelayan Indonesia. Secara global,
produksi ikan karang sudah mencapai 6 metric ton atau 7% dari produksi
perikanan dunia (Munro, 1996). Artinya, ikan karang adalah memasukan
devisa bagi negara, dan menyediakan kesempatan kerja bagi jutaan nelayan.
2.2
Sumberdaya Ikan
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable
resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan
pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom
air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk
gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan
hidupnya. Sedangkan ikan demersal adalah ikan-ikan yang berada pada lapisan
yang lebih dalam hingga dasar perairan, dimana umumnya hidup secara soliter
dalam lingkungan spesiesnya.
Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol,
dan lain-lain, serta ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung,
dan lain-lain. Penggolongan ini lebih dimaksudkan untuk memudahkan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang berbeda kedua
kelompok jenis ikan tersebut.
2.3
Pengelolaan sumberdaya ikan.
Sifat sumberdaya ikan pada umumnya adalah “open access” dan
“common property” Artinya pemanfaatannya bersifat terbuka, oleh siapa
saja, dan kepemilikannya bersifat umum. Menurut Widodo dan Nurhakim
(2002), sifat ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain:
a.
tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan
(overexploitation), investasi berlebihan (overinvestment)
dan tenaga kerja berlebihan
(overemployment);
b. perlu adanya hak kepemilikan (property
rights), misalkan oleh negara (state property rights), komunitas (community
property rights).
Berdasarkan uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa sebesar
apapun potensi
sumberdaya ikan yang berada dalam suatu perairan tetapi
tidak diatur atau tidak ada regulasi dalam bidang pemanfaatan sumberdaya ikan,
maka akan menyebabkan terjadi degradasi terhadap potensi sumberdaya ikan dan
hal ini akan berdampak terhadap pelaku-pelaku usaha penangkapan ikan, antara
lain nelayan tangkap. Pengembangan suatu kawasan perairan untuk menjadi daerah
penangkapan ikan dibutuhkan berbagai informasi sebagaimana telah dibahas
sebelumnya. Pembukaan daerah penangkapan ikan tidak saja diperuntukkan untuk
dimanfaatkan sebanyak-banyak tetapi aspek keberlanjutannya juga perlu
diperhatikan sehingga memberikan dampak positif dari segi ekonomi.
Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terlaksana
apabila dilakukan
pengelolaan
yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan.
Saat ini pertumbuhan manusia dan kemajuan teknologi penangkapan ikan
menyebabkan tingkat eksploitasi yang semakin meningkat. Pada sisi lain daya
dukung lingkungan termasuk sumberdaya ikan mempunyai keterbatasan. Keterbatasan
inilah sehingga dibutuhkan adanya pengrlolaan pemanfaatan sumberdaya ikan agar
ketersediaan sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan daya dukung lingkungan pada setiap perairan dimana akan dilakukan
pemanfaatan.Sehubungan dengan pengelolaan tersebut maka dibutuhkan adanya
regulasi tentang tingkat pemanfaatan pada setiap wilayah perairan yang akan dikembangkan
menjadi daerah penangkapan ikan. Batasan-batasan perlu ditetapkan sesuai dengan
daya dukung lingkungan masing-masing perairan, bukan hanya seberapa banyak
umberdaya ikan dapat dimanfaatkan tetapi juga perlu adanya pembatasan teknologi
yang akan digunakan pada suatu wilayahperairan.
2.4
Potensi produksi sumberdaya Ikan di perairan Indonesia
Tabel dibawah ini menggambarkan potensi produksi dan tingkat
pemanfaatannya di wilayah perairan Indonesia. Gambaran ini sangat diperlukan
dalam melakukan prediksi untuk pengembangan suatu kawasan perairan menjadi
daerah penangkapan ikan. Gambaran potensi ini juga diperlukan guna pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya ikan agar aspek keberlanjutan tetap dapat dipertahankan.
Tabel.
Potensi, Produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya Ikan di Indonesia
Kelompok Sumber Daya
|
Potensi (103 ton/tahun)
|
Produksi (103 ton/tahun)
|
Pemanfaatan
(%)
|
Ikan Pelagis Besar
|
1.165,36
|
736,17
|
63,17
|
Ikan Pelagis Kecil
|
3.605,55
|
1.784,33
|
49.49
|
Ikan Demersal
|
1.365,08
|
1.085,50
|
79,52
|
Ikan Karang Konsumsi
|
145,25
|
156,89
|
>10
|
BABIII
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tangkapan MSY, Maksimum Berimbang Lestari
DKP melakukan pendugaan potensi perikanan
tangkap Indonesia berdasarkan metode perhitungan yang dikembangkan sejak tahun
1930, ketika ahli biologi perikanan dari Norwegia, Hjort memperkenalkan teori
penangkapan dalam keseimbangan atau disebut equilibrium fishing –
menangkap sejumlah ikan yang setara dengan jumlah populasi yang meningkat
melalui proses pertumbuhan dan reproduksi. Hjort menyatakan: jumlah ikan
maksimal yang bisa ditangkap adalah sebesar setengah dari ukuran populasi pada
kondisi alami (tidak ada penangkapan). Ketentuan yang berlaku, untuk memberikan
rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap, ahli perikanan harus melakukan
monitoring terhadap stok ikan dan jumlah armada perikanan. Ketika stok ikan
sudah menurun dan mencapai ukuran setengah dari kondisi alami, jumlah total
armada perikanan harus dipertahankan konstan dengan cara menutup ijin usaha
perikanan tangkap. Pemantauan stok ikan sangat mahal dan bahkan sekarang, 70
tahun kemudian, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan hasil dugaan yang cukup
baik terhadap jumlah ikan di laut.
Peneliti lain, Schaefer, mencoba mengatasi
kesulitan ini pada tahun 1950-an dengan metode berdasarkan analisis data effort
atau upaya dengan hasil tangkap (Smith, 1988). Metode inilah yang digunakan
oleh DKP, seperti juga banyak institusi perikanan lainnya di dunia, untuk
menduga potensi hasil tangkapan (PCI 2001a; 2001b; 2001c; Venema, 1996). Secara
esensial, DKP menelusuri informasi tentang jumlah armada perikanan dengan
jumlah total hasil tangkapan dari armada tersebut, dengan perhitungan sederhana
bisa dihasilkan suatu penduga potensi hasil tangkap dan juga ukuran atau jumlah
alat yang beroperasi untuk menghasilkan potensi tersebut. Potensi hasil
tangkapan ini sering disebut dengan hasil tangkapanmaksimum berimbang lestari
(maximum sustainable yield), atau MSY.
Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di
Indonesia, sasaran pengelolaan ditentukan dari nilai MSY. Dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap Indonesia telah
ditetapkan 80% dari nilai MSY (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Karena
keuntungan ekonomi maksimum berada di bawah nilai MSY (Gulland, 1983), prinsip
kehati-hatian pada kasus ini cukup beralasan, baik secara logika maupun dalam
perhitungan ekonomi (rupiah).
Publikasi terakhir memperoleh dugaan MSY sekitar
5,0 juta ton (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003a). Sebelumnya ada 5
(lima) studi yang sudah dilakukan terkait dengan MSY, yaitu: (a) Martosubroto,
melalui tinjauan data akhir tahun 1980an yang didapatkan dari Dirjen Perikanan
Tangkap bersama Balai Penelitian Perikanan Laut, (b) Dirjen Perikanan Tangkap
1995 melalui tinjauan data sejak awal tahun 1980an, (c) Indonesia/FAO/DANIDA
1995 melalui pengkajian semua data yang tersedia (Venema, 1996), (d) Pusat
Riset Perikanan Tangkap melaui riset pengkajian stok bersama LIPI (Pusat Riset
Perikanan Tangkap, 2001) dan (e) tinjauan ulang oleh Pacific Consultants
International (PCI, 2001c). PCI menyajikan 6 (enam) penduga terhadap nilai MSY
yang satu sama lain berbeda, bervariasi antara 3,67 sampai 7,7 juta ton. Hasil
pendugaan terakhir pada tahun 2001 mendapatkan nilai 6,4 juta ton. Pada 25
Maret 2003, Komisi Pengkajian Stok Nasional memutuskan untuk melakukan
pengkajian ulang terhadap hasil estimasi MSY tersebut (Departemen Kelautan dan
Perikanan, 2003a).
Sebagai kesimpulan, penduga terhadap MSY
bervariasi dua kali lipat, sementara penduga dari hasil terakhir mendapatkan
nilai tengah diantara yang terendah dan tertinggi, yaitu 5,0 ton per tahun.
Menurut statistik terakhir, produksi perikanan tangkap Indonesia adalah 4,4
juta ton pada tahun 2002 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003c). Apakah
perbedaan antara nilai MSY dengan produksi riil ini bisa diartikan sebagai
‘ruang’ untuk memperluas armada perikanan? Jawabannya adalah ‘tidak bisa’.
Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, terkait dengan
perhitungan nilai MSY. Pertama, hasil perhitungan sangat tergantung dari
kualitas statistik perikanan yang digunakan sebagai input. Kedua, metode
perhitungan selalu berdasarkan atas sejumlah asumsi yang sangat jarang sekali
terpenuhi, dua asumsi yang paling penting diantaranya adalah stok ikan berada
dalam kondisi keseimbangan serta hasil tangkap-per-unit-usaha (hasil tangkap
per armada per hari) merupakan petunjuk yang baik bagi ukuran besarnya
populasi. Yang terakhir, dan sering kali terjadi pada kasus perikanan tangkap
Indonesia, adalah hasil dari perhitungan diterjemahkan berbeda dari kondisi
seharusnya.
Kualitas statistik perikanan
Perikanan tangkap Indonesia sangat khas dengan
karakteristik multi-alat dan multispesies, tersebar di seluruh wilayah
pendaratan. Hal ini menyulitkan dalam mendapatkan atau melakukan koleksi data
statistik – koleksi data statistik hasil tangkap dari masing-masing alat
tangkap hampir tidak mungkin dilakukan pada setiap pendaratan ikan sepanjang
garis pantai yang mencapai ± 81.000 km.
Oleh karena itu, 30 tahun yang lalu dilakukan
sistem sampling untuk mendapatkan data statistik perikanan. Sistem ini
dilakukan dengan mencatat hasil tangkap harian dari beberapa alat tangkap pada
tingkat desa, hasil tangkapan harian selanjutnya dihitung dengan mengalikan
hasil tangkap beberapa hari sampling dengan jumlah armada perikanan di desa,
dikalikan jumlah hari melaut dari masing-masing alat tangkap.
Hasil perhitungan ini digunakan untuk menduga
total hasil tangkap dalam setahun (Yamamoto, 1980 dalam Pet- Soede et. al.,
1999). Berbagai studi menunjukkan kelemahan sistem statistik perikanan ini
terkait dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh DKP untuk menerapkan
system tersebut dengan benar dan konsisten (Dudley & Harris, 1987; Venema,
1996). Permasalahan lainnya adalah DKP belum bisa mengatasi masalah di lapangan
sehubungan dengan banyaknya alat tangkap atau kegiatan penangkapan illegal,
tidak diatur, dan alat yang tidak dilaporkan (IUU fishing) kepada pemerintah.
Jadi, sangat jelas bahwa hasil tangkap yang didapat dari IUU fishing tidak akan
ikut dihitung dalam statistik perikanan. Studi FAO yang dilaporkan oleh Venema
(1996) secara khusus menyebutkan kurangnya data untuk Indonesia Bagian Timur.
Studi yang dilakukan akhir-akhir ini dengan
melibatkan DKP memberikan rekomendasi: ‘sehubungan dengan kualitas data dan
statistik perikanan yang ada saat ini yang masih menjadi pertanyaan, dimana
data yang didapat tergantung dari sistem koleksi data berdasarkan
kerangkasampling dan metodologi yang dikembangkan 30 tahun yang lalu,
pemerintah sebaiknya membuat pusat data dan informasi yang sepenuhnya
bertanggung jawab dalam hal koleksi, kompilasi, analisis, interpretasi,
pelaporan dan penyebar-luasan statistik perikanan’ (PCI, 2001b). Sebagai
kesimpulan, nilai penduga bagi MSY yang didapat dari data yang masih mengandung
beberapa kelemahan ini harus mendapat perlakuan ekstra hati-hati.
Stok ikan dalam kondisi keseimbangan
Perhitungan MSY berdasarkan Schaefer bisa
dilakukan dengan asumsi bahwa stok ikan berada pada kondisi keseimbangan,
artinya jika usaha atau effort dibidang penangkapan dipertahankan konstan,
hasil tangkap dan populasi spesies yang dieksploitasi juga akan tetap konstan.
Namun pada kondisi dimana perikanan tangkap berkembang secara bertahap,
populasi ikan membutuhkan waktu penyesuaian terhadap tekanan alat tangkap yang
lebih banyak.
Periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
keseimbangan tidak pernah diketahui. Hasil penelitian terakhir mendapatkan
bahwa banyak stok ikan sudah mengalami penurunan secara terus menerus sejak
pertama kali ditangkap, dan populasi ikan berkurang 80% dalam 15 tahun sejak
pertama kali dieksploitasi (Myers & Worm, 2003). Implikasinya adalah
bahwabanyak stok populasi ikan yang tidak pernah mencapai kondisi keseimbangan.
Sebagai konsekuensinya, penggunaan metode Schaefer dalam perhitungan
‘catch-effort’ akan mendapatkan nilai MSY yang jauh lebih tinggi dari kondisi
yang sebenarnya (over-estimated). Contoh lain yang menunjukkan bahwa hasil
tangkap jarang sekali bisa mewakili perikanan dalam kondisi keseimbangan adalah
penjualan ikan karang hidup untuk memenuhi permintaan pasar Hongkong. Perikanan
karang jenis ini mengalami perkembangan yang sangat cepat ketika wilayah
penangkapan di sekitar Hongkong mulai terkuras (Bentley, 1999; Sadovy et. al,
2003). Sayangnya, hanya setelah kerusakan itu terjadi kita bisa menyimpulkan
bahwa jumlah usaha penangkapan pada area (termasuk wilayah Indonesia Bagian
Timur) yang saat ini sedang mengalami kepunahan itu terlalu tinggi. Setelah
stok ikan terkuras dan kolaps, kita bias menyimpulkan bahwa hasil tangkap tidak
berasal dari suatu stok dalam kondisi keseimbangan, tetapi dari suatu stok yang
masih mengalami penurunan. Kebanyakan jenis perikanan tangkap di Indonesia
ternyata mengeksploitasi stok ikan yang mengalami penurunan, bukan yang berada
pada kondisi keseimbangan. Oleh karena itu, penduga MSY bisa jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil tangkapan sebenarnya yang mempertahankan stok
perikanan Indonesia secara berkelanjutan atau lestari.
Pada stok dalam kondisi keseimbangan, sebuah
hasil tangkap yang lebih tinggi dari nilai MSY tidak akan pernah terjadi. Namun
pada kenyataannya, hasil tangkap lebih tinggi dari MSY kadang bisa terjadi
(perhatikan juga pada Gambar 1, terhadap dua data tangkapan dari hasil
pengamatan yang mempunyai nilai lebih tinggi dari MSY), dan sering kali
diartikan sebagai tanda penangkapan berlebih atau over-fishing. Walaupun total
hasil tangkap (data lapang) yang didapat lebih tinggi dari MSY, tentu saja
masih akan menjadi perhatian, perbedaan ini lebih banyak terjadi karena faktor
‘galat’, dimana penduga MSY bervariasi secara alami atau stok ikan juga
bervariasi secara alami yang sering terjadi terutama untuk spesies-spesies yang
siklus hidupnya pendek, seperti ikan lemuru atau tembang. Jika
hasil tangkap didapatkan lebih tinggi dari MSY, hal ini harus dipahami sebagai
bukti bahwa asumsi dalam perhitungan MSY tidak terpenuhi, dan dengan demikian,
penduga terhadap MSY harus ditafsirkan dengan sangat hatihati.
Hasil tangkap-per-unit-usaha sebagai indikator
besarnya (ukuran) stok
Hampir semua ahli perikanan di dunia menggunakan
data hasil tangkap-per-unit-usaha dalam menduga status stok ikan. Diasumsikan
bahwa ketika stok ikan mengalami penurunan, hasil tangkapan nelayan akan menurun
secara bertahap. Dengan asumsi ini, ahli perikanan mengabaikan kemampuan
adaptasi dan kapasitas sumberdaya nelayan. Ketika nelayan tidak puas dengan
hasil tangkap harian yang didapat, kemungkinan dia akan pindah ke bagian lain
dari terumbu karang dimana ikan diperkirakan masih cukup banyak (Sadovy et
al., 2003).
Kadang kala, nelayan juga bisa beralih
menggunakan alat tangkap yang lebih efektif, atau mencari jenis ikan lain yang
masih cukup banyak. Pada skenario ini penangkapan ikan akan terus berlanjut sampai
stok terkuras. Kolapsnya perikanan Cod di perairan Atlantik (Kanada) pada tahun
1990an bisa dijadikan contoh, dengan dampak ekonomi yang paling parah dan
bahkan menjadi mimpi buruk dalam sejarah Negeri Kanada (Walters & Maguire,
1996).
Penafsiran terhadap penduga dari MSY
Masalah lain yang juga sering terjadi adalah
interpretasi pemerintah terhadap penduga dari MSY, dan bagaimana hasil
tangkapan yang didapat digunakan untuk menghasilkan rekomendasi pengelolaan
perikanan tangkap (Gillet, 1996). Pembuat kebijakan menafsirkan ‘hasil
tangkapan’ di bawah nilai MSY sebagai tanda adanya ruang bagi perluasan atau
peningkatan armada penangkapan ikan. Interpretasi tersebut kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Tampaknya, perbedaan antara total hasil tangkapan Indonesia
saat ini yang mencapai 4,4 juta ton (2002) dengan nilai dugaan MSY sebesar 5.0
juta ton juga ditafsirkan secara keliru.
Penangkapan berlebih diartikan sebagai jumlah
usaha penangkapan sedemikian tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan
(waktu) untuk berkembang, sehingga total hasil tangkapan lebih rendah
dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih rendah (Sparre & Venema, 1992 dan
Gulland 1983; Gambar 1). Evaluasi terhadap status perikanan tangkap hanya
bermanfaat jika kita mempertimbangkan juga bahwa jumlah usaha penangkapan dan
MSY itu sendiri kurang baik sebagai sebuah target dalam pengelolaan. Sebagai
gantinya, pengelolaan harus difokuskan pada perkiraan jumlah unit usaha
penangkapan yang menghasilkan nilai MSY, yaitu MSE atau Usaha Maksimum Lestari.
Hampir semua analisis yang dilakukan terhadap
perikanan
tangkap sebenarnya sudah menunjukkan kondisi dimana MSE sudah
terlewati, sehingga
perikanan menghasilkan tangkapan yang menurun karena terjadinya
tangkap lebih (Widodo, Wiadnyana, & Nugroho, 2003). Pengelola perikanan
tidak memperhatikan MSE sehingga hampir tidak mempunyai strategi yang jelas
tentang pembatasan usaha penangkapan. Sistem perijinan usaha yang ada saat ini
bisa digunakan untuk membatasi jumlah usaha melalui pembatasan jumlah ijin
usaha, namun sejauh ini belum ada ketentuan, baik untuk membatasi kapasitas
penangkapan maupun prosedur untuk menghentikan perijinan ketika batas
(kapasitas penangkapan) tersebut sudah tercapai.
3.2 Status perikanan tangkap Indonesia dari indikator-indikator
lainnya
Suatu lokakarya yang dilakukan beberapa waktu
yang lalu (Widodo, Wiadnyana, & Nugroho 2003) untuk menduga status
perikanan dari 4 (empat) wilayah pengelolaan perikanan menunjukkan gejala yang
jelas terjadinya penangkapan berlebih. Pada semua wilayah perikanan tangkap
tersebut, para ahli menyarankan untuk melakukan pembatasan usaha (penutupan
wilayah penangkapan, pembatasan ijin usaha, menurunkan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan) dan menurunkan kapasitas armada (Widodo, 2003). Namun kesimpulan
tersebut tidak sejalan dengan harapan bangsa ini, yaitu meningkatnya hasil
tangkapan. Lokakarya memutuskan bahwa penduga MSY hasil lokakarya adalah 6,4
juta ton (sama dengan hasil dugaan pada tahun 2001). Upaya mencapai angka
tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan eksplorasi dan intensifikasi
perikanan tangkap di luar wilayah studi dan dengan ekplorasi sumberdaya
‘inkonvensional’ seperti stok sumberdaya laut-dalam. Rekomendasi lainnya dari
lokakarya adalah mempertahankan total usaha (effort) pada kondisi yang ada saat
ini.
Meskipun lokakarya mengakui adanya tantangan
dalam menentukan status perikanan tangkap Indonesia, rekomendasi dan
temuan-temuan di dalamnya masih bersifat mendua: pengelolaan melalui pembatasan
vs eksplorasi dan intensifikasi, dan keyakinan akan adanya stok sumberdaya yang
belum dieksploitasi (tanpa dukungan pembuktian), sementara sebagian besar walau
tidak semua studi menunjukkan bahwa status perikanan tangkap yang diteliti
berada pada kondisi tangkap lebih atau tidak jelas. Lokakarya juga menyarankan
agar pengelolaan sebaiknya memperhatikan ekosistem, bukan spesies, serta
menggaris bahawi kebutuhan untuk melakukan monitoring stok ikan, habitat, dan
ekosistem.
3.3 Masa depan perikanan tangkap Indonesia dan peran kawasan
perlindungan laut
Dokumen kebijakan DKP meminta seluruh jajarannya
untuk berpedoman pada nilai MSY (PCI, 2001b). Hal ini bisa dipahami, namun
sayangnya terlepas dari saran kebijakan itu sendiri, DKP masih menggunakan
nilai MSY dalam sebutan lain, yaitu ‘potensi perikanan tangkap’ dalam setiap
komunikasinya – para investor potensial mungkin tidak menyadari adanya unsure
ketidak-pastian dari hasil perhitungan terhadap nilai penduga dan bisa
mengartikan bahwa perbedaan antara hasil tangkap tahunan yang ada saat ini
dengan penduga nilai MSY sebagai dukungan untuk perluasan investasi dibidang
perikanan tangkap.
Konsep MSY sudah dibuktikan tidak efektif
sebagai alat pengelolaan perikanan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga pada
berbagai perikanan di dunia. Khusus untuk Indonesia dengan karakteristik
perikanan tangkap ‘multi-alat’ dan ‘multi-spesies’, hampir tidak mungkin atau
paling tidak, sangat mahal sekali untuk mendapatkan data yang memenuhi kualitas
dan bias digunakan untuk menduga MSY (Widodo, Wiadnyana & Nugroho, 2003).
Bahkan, jika data tersedia maka hasil perhitungan tampaknya akan mendapatkan
dugaan MSY yang terlalu
optimistik. Dengan demikian, sangat tepat dan sudah saatnya untuk
tidak lagi berpedoman semata pada nilai MSY sebagai tujuan pengelolaan.
Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP sangat jelas
menyebutkan tentang status
perikanan tangkap Indonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap
yang sudah menipis dan hampir kolaps, tidak saja di Indonesia tetapi juga di
dunia, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara
tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik, melalui peningkatan produksi
yang didorong oleh pemerintah dalam 30 tahun terakhir, jelas merupakan kebijakan
yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita memerlukan suatu kebijakan yang
betul-betul segar untuk membuktikan terjadinya peningkatan usaha penangkapan
secara tidak terkontrol di masa lalu serta untuk membalikkan kondisi
over-fishing atau penangkapan berlebih (PCI, 2001b). Naskah kebijakan tersebut
selanjutnya menyarankan untuk ‘menciptakan, membangun, dan meningkatkan
kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan pemikiran masyarakat agar
menghentikan pemikiran romantis bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan,
tidak akan pernah habis’ (PCI, 2001a).
Selain perikanan tangkap itu sendiri,
pengelolaan perikanan tangkap Indonesia juga sedang mengalami krisis. Sementara
sebagian besar (kalau tidak semua) kajian stok perikanan yang terpercaya menyimpulkan
bahwa status perikanan tangkap Indonesia berada pada posisi belum jelas atau
tangkap lebih, DKP diharapkan untuk mengelola perikanan sedemikian rupa agar
mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDB dengan kesadaran bahwa
masih bisa melakukan peningkatan hasil tangkap dari sumberdaya yang sudah
terbatas. Pembatasan usaha secara definitif akan menyebabkan penurunan total
hasil tangkap dalam jangka pendek, sehingga menyebabkan gagalnya peluang (dalam
jangka sangat pendek) memberikan kontribusi terhadap sasaran DKP secara
keseluruhan. Kerugian jangka pendek yang diakibatkan dari pengelolaan
restriktif (bidang penangkapan) hampir tidak mungkin bisa ditutupi melalui
perluasan budidaya ikan yang memerlukan investasi modal, atau eksplorasi
sumberdaya yang masih belum terjamah yang mungkin pada kenyataannya tidak ada,
atau kalau ada, tidak menguntungkan secara ekonomis (seperti kasus perikanan
tangkap terhadap spesies ikan demersal pada beberapa wilayah penangkapan
(Venema, 1996)). Satu-satunya jalan untuk memecahkan kebuntuan ini adalah
dengan membangun pemahaman kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan di dalam
lingkup DKP bahwa pengembangan perikanan tangkap seharusnya tidak diukur dari
gambaran peningkatan produksi yang masih bisa dilakukan, tetapi pada jumlah
usaha industri yang menguntungkan secara ekonomi, bisa dipertanggung jawabkan
secara social dan tidak merusak lingkungan, sehingga bisa menopang penghidupan
masyarakat pantai, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.
Alternatif pengelolaan untuk mengatasi kelemahan
dari pendekatan MSY yang banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah pengelolaan
berbasis ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring Kawasan Perlindungan Laut
(Marine Preserved Areas). Definisi IUCN (International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources) tentang kawasan perlindungan laut
adalah ‘suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di
bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya,
dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi
sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya’. Selain fungsinya
sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman sumberdaya hayati, kawasan
perlindungan laut, KPL, juga banyak dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan
tangkap yang harus diintegrasikan kedalam perencanaan pengelolaan pesisir
terpadu (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts
& Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001).
Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan
bahwa KPL dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang cukup substansial di
dalamnya menyebabkan peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan
komposisi spesies yang lebih alami.
Alasan utama bagi sedikitnya studi lapang untuk
pembuktian ilmiah tentang manfaat komersial dari kawasan perlindungan laut
(KPL) adalah karena kesulitan dalam melakukan penelitian eksperimental dengan
ulangan dalam skala ekologis. Namun mekanisme deduktif dari bukti pengaruh
populasi ikan di dalam wilayah larang-ambil bisa juga digunakan untuk wilayah
sekitarnya. Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan-ikan ekonomis
penting di dalam kawasan larang-ambil dapat memberikan manfaat bagi perikanan
komersial di sekitarnya melalui (Roberts & Hawkins, 2000): (1) penyebaran ikan
muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di
sekitarnya, “spill-over”, (2) ekspor telur dan/atau larva yang bersifat
planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya dan (3)
mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan
perikanan di luar kawasan larang-ambil mengalami kegagalan. Selanjutnya, KPL
bisa menjadi alat untuk perlindungan tempat-tempat sensitif, seperti agregasi
pemijahan ikan khususnya ikan. Keuntungan lain dari KPL dibanding alat
pengelolaan perikanan seperti pengaturan usaha, pengaturan kuota dan alat
tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah di dalam kawasan bisa menjadi
penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak, khususnya jika penutupan wilayah
tersebut mencakup wilayah pemijahan atau pendederan. Biaya penetapan dan
pengelolaan KPL cukup tinggi, namun manfaat yang didapatkan ternyata jauh lebih
tinggi. Sebuah jejaring (network) KPL global dengan ukuran 20-30% dari luas
laut dunia diperkirakan memerlukan biaya $5-19 miliar per tahun, namun akan
menghasilkan tangkapan yang keberlanjutan senilai $ 70-80 miliar setiap
tahunnya.
Jejaring KPL tersebut juga diperkirakan
memberikan jasa ekosistem setara $ 4,5 – 6,7 juta setiap tahun. Total biaya
yang dibutuhkan untuk membuat dan mengelola jaringan KPL ternyata lebih rendah
dibandingkan dengan pembelanjaan subsidi terhadap industri perikanan yang kita
ketahui tidak berkelanjutan, yaitu $15-30 miliar per tahun. Naskah kebijakan
yang dikeluarkan oleh DKP menyarankan untuk membuat paling tidak 10% dari total
wilayah perairan laut Indonesia sebagai kawasan perlindungan laut (PCI, 2001a).
Akhir-akhir ini, Direktorat Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sudah menunjukkan usaha yang cukup kuat untuk membangun
sebuah strategi pembentukan jejaring kawasan perlindungan laut di Indonesia dan
telah membentuk forum terdiri dari institusi pemerintah dan non-pemerintah,
disebut Komite Nasional Konservasi Laut Indonesia (Surat Keputusan Direktur
Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. SK 43/P3K/III/2004). Forum ini
terdiri dari tim pengarah dan tim teknis dengan tiga kelompok kerja yang akan
memberikan masukan teknis dalam penyusunan draft kebijakan yang difokuskan pada
strategi nasional mengenai KPL, pengembangan pengelolaan perikanan secara
berkelanjutan, dan penyusunan kebijakan bagi konservasi spesies dan genetik.
Tantangan utama yang dihadapi oleh tim teknis pada topic antara strategi
nasional kawasan perlindungan laut dengan perikanan yang berkelanjutan adalah
memformulasi usulan kebijakan dalam mengembangkan perikanan
tangkap yang lebih berkelanjutan melalui jejaring KPL sebagai alat di tingkat
nasional dan juga pengelolaan perikanan di tingkat lokal
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Stok sumberdaya ikan pada beberapa wilayah pengelolaan
perikanan berada pada kondisi tereksploitasi penuh atau bahkan mengalami
penangkapan berlebih. Saran kebijakan kepada pemerintah yang diajukan dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir mensyaratkan penurunan atau paling tidak jangan
lagi menambah tekanan terhadap sumberdaya yang ada saat ini.
Namun kenyataannya masih banyak kebijakan
operasional pemerintah (DKP) pada tingkat lapang yangmengupayakan peningkatan
hasil tangkap melalui perluasan usaha penangkapan (effort). Pemerintah
menetapkan nilai 6,4 juta ton sebagai penduga MSY. Data statistik total
produksi hasil tangkap terakhir (2002) mencapai angka 4.4 juta ton. Perbedaan
ini diartikan sebagai ruang untuk perluasan usaha melalui kebijakan perluasan
armada penangkapan. Kebijakan penambahan armada ini sangat beresiko dengan
memperhatikan bahwa perbedaan tersebut bisa juga terjadi pada kondisi stok
mengalami eksploitasi berlebih serta temuan yang menunjukkan bahwa nilai MSY
ternyata bervariasi.
Masa depan perikanan tangkap Indonesia, dengan
demikian, akan sangat tergantung dari:
- Komitmen pemerintah (DKP) untuk menggeser
kebijakan perikanan dari pengelolaan beorientasi pada pengembangan usaha menuju
pada pengelolaan yang berkelanjutan, bias menerima atau bahkan menginginkan
hasil tangkap yang stabil, serta menurunkan jumlah usaha penangkapan kalau
diperlukan
- DKP dan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan dapat menerima prinsip bahwa ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’,
paling tidak untuk perikanan tangkap, tidak berlaku atau eksploitasi tidak lagi
menguntungkan
- Pengelola perikanan
tangkap memahami dan menerima bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah
yang mengalami tangkapan berlebih ke wilayah yang disebut ‘sumberdaya tidak
akan pernah habis’ merupakan rencana yang ‘kurang tepat’ dan bahkan menyebabkan
perikanan tangkap setempat mengalami kolaps, bukan peningkatan PDB.
- Pergeseran pengelolaan
perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY yang terlalu sederhana menuju
pengelolaan dengan pendekatan ekosistem, dimana di dalamnya kawasan
perlindungan laut akan memainkan peranan yang sangat penting. Rekomendasi
kebijakan perikanan terutama disampaikan oleh Komisi Nasional
Pengkajian stok Sumberdaya Perikanan maupun
forum-forum pengkajian sejenis yang justru dibentuk oleh pemerintah. Komisi
Nasional Konservasi Laut yang baru saja dibentuk bersama forum yang lainnya,
juga diperkirakan akan menjadi media yang penting untuk mencapai pergeseran
kebijakan seperti yang disebutkan di atas, terutama mengenai strategi pengembangan
kawasan perlindungan laut sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap berbasis
ekosistem.
Latest video. 3.3: 맄톌 발트미; 카지노 사이트 사이트 사이트 - Kirkwood
BalasHapus카지노 사이트 사이트 사이트 사이트 사이트 Korean Idol 카노 사이트 사이트 사이트 The Korean Idol 카지노 사이트 kirill-kondrashin 맄톌발트미 사이트 Korean Idol 카노사이트 사이트 Korean Idol 맄톌발트미 사이트 맄톌