Senin, 07 November 2011

ARTI CINTA

Kalau aku ini satu maka aku adalah tiada
Kalau pijakmu jengah maka aku terbang saja
Kalau aku awan dan kalau saja kamu bintang
Maka layaknya sihir, lebih baik langit melenyap
Karna lalu buat apa ada renggang di antara jariku
Buat apa dicipta hati yang luas
Kalau bukan jadi tempatmu mengadu
Karna lalu buat apa ada dua
Kalau yang ada hanya aku
Dan di sisi yang lain hanya ada kamu
Jadi di sinilah kita, di satu peraduan yang sama
Belajar tertawa, belajar menangis
Belajar mengajar, belajar mendengar
Di sinilah kita
Belajar Cinta


 Coba baca, kalimat yang berjejer di depanmu, mereka mencoba jelaskan isi hatiku
Aku yang diam diam mencintaimu, aku mencintaimu dengan diam diam, karna ta’ ingin senyummu yang biasa aku lihat terusik perasaanku
Sepakatlah denganku, kita rahasiakan perasaan cintaku ini, cukuplah hatimu dan mimpiku yang tau, bahwa aku mencintaimu
Dan kan ku biarkan dirimu terbang dengan cinta yang lain, asal persinggahanmu adalah bahagia, karna mungkin cintaku ta’ dapat mengantarmu ke tempat itu
Bagiku, aku mencintaimu itu lebih penting ketimbang aku harus memilikimu.

KENIKMATAN TUHAN

kadang hidup itu terasa susah untuk dijalani .
sehingga biasa kita menyalakan Tuhan itu tidak adil kepada umat-Nya.dan lebih tragis kita biasa ragu akan adanya Tuhan.
namun,sebenarnya kita tak berfikir lebih cermat,lebih akurat dan lebih sesederhana mungkin yakni : nafas yang Ia telah berikan kepada kita,jika 1 detik Ia memberhentikan detak jantung kita.Astagfirullah(inalilah) apakah yang akan terjadi ?
ini hanya satu contoh kenikmatan yang Ia berikan kepada kita masih. Banyak lagi yang tak bisa dihitung dengan materi.
SubahanaAllah ,,
jadi ..
bersyukurlah kepada-Nya ,tentang apa yang Ia telah berikan .
smoga yang membaca menyadari itu .by Ucy Cy

 



                                                                                                                            


Senin, 31 Oktober 2011

kebijakan maritim




Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Di Indonesia



LAMALIKI PADAI (STK 19002)



BABI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah Indonesia bertanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia bagi kepentingan seluruh masyarakat, dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini juga berlaku bagi sumberdaya perikanan, seperti ikan, lobster dan udang, teripang, dan kerang-kerangan seperti kima, dan kerang mutiara. Sumberdaya ini secara umum disebut atau termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun, kemampuan alam untuk memperbaharui ini bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan.
Penangkapan berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002). Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5% lebih rendah dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak termasuk Cina, karena unsur ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Sekali terjadi sumberdaya sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan.Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP, sangat memahami permasalahan penangkapan berlebih di perairan laut Indonesia Bagian Barat, khususnya perairan pantai utara Jawa. Didorong oleh harapan publik dimana sektor perikanan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP Indonesia melalui peningkatan produksi hasil tangkap, DKP sekarang sedang mencari ‘sumberdaya yang tidak pernah habis’ tersebut di Indonesia Bagian Timur (Widodo, 2003).
Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana perairan laut Indonesia Bagian Timur bisa dikembangkan untuk perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Apakah perairan Indonesia Bagian Timur termasuk bagian dari 25% perikanan tangkap dunia, yang menurut FAO bisa dikembangkan lebih lanjut? Indonesia cenderung melakukan intensifikasi perikanan tangkap. Artikel dari beberapa media yang menggambarkan keadaan peningkatan armada penangkapan di Indonesia menggambarkan beberapa wilayah perairan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, sementara beberapa wilayah lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang. DKP mencoba mengangkat masalah ini dan menyelesaikannya dengan cara memfasilitasi transmigrasi nelayan..
Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengundang investor asing untuk mengeksploitasi sumberdaya yang dianggap tidak akan pernah habis: situs Kedutaan Inggris di Indonesia mengundang industri perikanan tangkap di Inggris dalam memanfaatkan peluang ini (British Embassy, 2004), melalui suplai armada perikanan yang digunakan, kemungkinan bersama ABK, alat tangkap gill net, pukat harimau, pancing pole & line, pukat cincin, beserta pelayanan konsultasi dan transfer teknologi.
1.2 Perumusan Masalah
Yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah Penangkapan berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002).
Sekali terjadi sumberdaya yang sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan dan hal ini akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat (nelayan), pemasukan negara dan juga bagi ekosistem perairan laut.
1.3 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dua aspek terkait dengan sektor perikanan sebagai berikut:
  1. apakah stok perikanan Indonesia bisa terus dipertahankan meningkat dengan
meningkatnya laju eksploitasi dan
  1. pengembangan alternatif kebijakan perikanan tangkap
berbasis ekosistem dengan penekanan pada peranan Kawasan Perlindungan Laut, KPL, sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia, yang secara tradisional dipikirkan sebagai instrumen dari usaha konservasi keanekaragaman sumberdaya hayati.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelestarian Perikanan Di Indonesia
Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada sumberdaya produksi perikanan tangkap dan budidaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun sumberdaya tersebut saat ini sedang berada dalam kondisi terancam. Penangkapan ikan yang berlebihan, tidak mengikuti peraturan/undang-undang, serta tidak dilaporkan (IUU), menjadi masalah yang sangat serius pada sektor perikanan di Indonesia, termasuk pada perairan yang berbatasan dengan Australia ataupun dengan negara tetangga lainnya.
Penangkapan ikan karang (Reef Fishing) sudah lama menjadi sumber kehidupan jutaan masyarakat nelayan Indonesia. Secara global, produksi ikan karang sudah mencapai 6 metric ton atau 7% dari produksi perikanan dunia (Munro, 1996). Artinya, ikan karang adalah memasukan devisa bagi negara, dan menyediakan kesempatan kerja bagi jutaan nelayan.
2.2 Sumberdaya Ikan
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Sedangkan ikan demersal adalah ikan-ikan yang berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan, dimana umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya.
Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, dan lain-lain, serta ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung, dan lain-lain. Penggolongan ini lebih dimaksudkan untuk memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang berbeda kedua kelompok jenis ikan tersebut.
2.3 Pengelolaan sumberdaya ikan.
Sifat sumberdaya ikan pada umumnya adalah “open access” dan “common property” Artinya pemanfaatannya bersifat terbuka, oleh siapa saja, dan kepemilikannya bersifat umum. Menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sifat ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain:
a. tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan
(overexploitation), investasi berlebihan (overinvestment) dan tenaga kerja berlebihan
(overemployment);
b. perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalkan oleh negara (state property rights), komunitas (community property rights).
Berdasarkan uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa sebesar apapun potensi
sumberdaya ikan yang berada dalam suatu perairan tetapi tidak diatur atau tidak ada regulasi dalam bidang pemanfaatan sumberdaya ikan, maka akan menyebabkan terjadi degradasi terhadap potensi sumberdaya ikan dan hal ini akan berdampak terhadap pelaku-pelaku usaha penangkapan ikan, antara lain nelayan tangkap. Pengembangan suatu kawasan perairan untuk menjadi daerah penangkapan ikan dibutuhkan berbagai informasi sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Pembukaan daerah penangkapan ikan tidak saja diperuntukkan untuk dimanfaatkan sebanyak-banyak tetapi aspek keberlanjutannya juga perlu diperhatikan sehingga memberikan dampak positif dari segi ekonomi.
Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terlaksana apabila dilakukan
pengelolaan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan. Saat ini pertumbuhan manusia dan kemajuan teknologi penangkapan ikan menyebabkan tingkat eksploitasi yang semakin meningkat. Pada sisi lain daya dukung lingkungan termasuk sumberdaya ikan mempunyai keterbatasan. Keterbatasan inilah sehingga dibutuhkan adanya pengrlolaan pemanfaatan sumberdaya ikan agar ketersediaan sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan daya dukung lingkungan pada setiap perairan dimana akan dilakukan pemanfaatan.Sehubungan dengan pengelolaan tersebut maka dibutuhkan adanya regulasi tentang tingkat pemanfaatan pada setiap wilayah perairan yang akan dikembangkan menjadi daerah penangkapan ikan. Batasan-batasan perlu ditetapkan sesuai dengan daya dukung lingkungan masing-masing perairan, bukan hanya seberapa banyak umberdaya ikan dapat dimanfaatkan tetapi juga perlu adanya pembatasan teknologi yang akan digunakan pada suatu wilayahperairan.
2.4 Potensi produksi sumberdaya Ikan di perairan Indonesia
Tabel dibawah ini menggambarkan potensi produksi dan tingkat pemanfaatannya di wilayah perairan Indonesia. Gambaran ini sangat diperlukan dalam melakukan prediksi untuk pengembangan suatu kawasan perairan menjadi daerah penangkapan ikan. Gambaran potensi ini juga diperlukan guna pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan agar aspek keberlanjutan tetap dapat dipertahankan.
Tabel. Potensi, Produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya Ikan di Indonesia
Kelompok Sumber Daya
Potensi (103 ton/tahun)
Produksi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan
(%)
Ikan Pelagis Besar
1.165,36
736,17
63,17
Ikan Pelagis Kecil
3.605,55
1.784,33
49.49
Ikan Demersal
1.365,08
1.085,50
79,52
Ikan Karang Konsumsi
145,25
156,89
>10

BABIII
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tangkapan MSY, Maksimum Berimbang Lestari
DKP melakukan pendugaan potensi perikanan tangkap Indonesia berdasarkan metode perhitungan yang dikembangkan sejak tahun 1930, ketika ahli biologi perikanan dari Norwegia, Hjort memperkenalkan teori penangkapan dalam keseimbangan atau disebut equilibrium fishing – menangkap sejumlah ikan yang setara dengan jumlah populasi yang meningkat melalui proses pertumbuhan dan reproduksi. Hjort menyatakan: jumlah ikan maksimal yang bisa ditangkap adalah sebesar setengah dari ukuran populasi pada kondisi alami (tidak ada penangkapan). Ketentuan yang berlaku, untuk memberikan rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap, ahli perikanan harus melakukan monitoring terhadap stok ikan dan jumlah armada perikanan. Ketika stok ikan sudah menurun dan mencapai ukuran setengah dari kondisi alami, jumlah total armada perikanan harus dipertahankan konstan dengan cara menutup ijin usaha perikanan tangkap. Pemantauan stok ikan sangat mahal dan bahkan sekarang, 70 tahun kemudian, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan hasil dugaan yang cukup baik terhadap jumlah ikan di laut.
Peneliti lain, Schaefer, mencoba mengatasi kesulitan ini pada tahun 1950-an dengan metode berdasarkan analisis data effort atau upaya dengan hasil tangkap (Smith, 1988). Metode inilah yang digunakan oleh DKP, seperti juga banyak institusi perikanan lainnya di dunia, untuk menduga potensi hasil tangkapan (PCI 2001a; 2001b; 2001c; Venema, 1996). Secara esensial, DKP menelusuri informasi tentang jumlah armada perikanan dengan jumlah total hasil tangkapan dari armada tersebut, dengan perhitungan sederhana bisa dihasilkan suatu penduga potensi hasil tangkap dan juga ukuran atau jumlah alat yang beroperasi untuk menghasilkan potensi tersebut. Potensi hasil tangkapan ini sering disebut dengan hasil tangkapanmaksimum berimbang lestari (maximum sustainable yield), atau MSY.
Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di Indonesia, sasaran pengelolaan ditentukan dari nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap Indonesia telah ditetapkan 80% dari nilai MSY (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Karena keuntungan ekonomi maksimum berada di bawah nilai MSY (Gulland, 1983), prinsip kehati-hatian pada kasus ini cukup beralasan, baik secara logika maupun dalam perhitungan ekonomi (rupiah).
Publikasi terakhir memperoleh dugaan MSY sekitar 5,0 juta ton (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003a). Sebelumnya ada 5 (lima) studi yang sudah dilakukan terkait dengan MSY, yaitu: (a) Martosubroto, melalui tinjauan data akhir tahun 1980an yang didapatkan dari Dirjen Perikanan Tangkap bersama Balai Penelitian Perikanan Laut, (b) Dirjen Perikanan Tangkap 1995 melalui tinjauan data sejak awal tahun 1980an, (c) Indonesia/FAO/DANIDA 1995 melalui pengkajian semua data yang tersedia (Venema, 1996), (d) Pusat Riset Perikanan Tangkap melaui riset pengkajian stok bersama LIPI (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001) dan (e) tinjauan ulang oleh Pacific Consultants International (PCI, 2001c). PCI menyajikan 6 (enam) penduga terhadap nilai MSY yang satu sama lain berbeda, bervariasi antara 3,67 sampai 7,7 juta ton. Hasil pendugaan terakhir pada tahun 2001 mendapatkan nilai 6,4 juta ton. Pada 25 Maret 2003, Komisi Pengkajian Stok Nasional memutuskan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap hasil estimasi MSY tersebut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003a).
Sebagai kesimpulan, penduga terhadap MSY bervariasi dua kali lipat, sementara penduga dari hasil terakhir mendapatkan nilai tengah diantara yang terendah dan tertinggi, yaitu 5,0 ton per tahun. Menurut statistik terakhir, produksi perikanan tangkap Indonesia adalah 4,4 juta ton pada tahun 2002 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003c). Apakah perbedaan antara nilai MSY dengan produksi riil ini bisa diartikan sebagai ‘ruang’ untuk memperluas armada perikanan? Jawabannya adalah ‘tidak bisa’.
Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, terkait dengan perhitungan nilai MSY. Pertama, hasil perhitungan sangat tergantung dari kualitas statistik perikanan yang digunakan sebagai input. Kedua, metode perhitungan selalu berdasarkan atas sejumlah asumsi yang sangat jarang sekali terpenuhi, dua asumsi yang paling penting diantaranya adalah stok ikan berada dalam kondisi keseimbangan serta hasil tangkap-per-unit-usaha (hasil tangkap per armada per hari) merupakan petunjuk yang baik bagi ukuran besarnya populasi. Yang terakhir, dan sering kali terjadi pada kasus perikanan tangkap Indonesia, adalah hasil dari perhitungan diterjemahkan berbeda dari kondisi seharusnya.
Kualitas statistik perikanan
Perikanan tangkap Indonesia sangat khas dengan karakteristik multi-alat dan multispesies, tersebar di seluruh wilayah pendaratan. Hal ini menyulitkan dalam mendapatkan atau melakukan koleksi data statistik – koleksi data statistik hasil tangkap dari masing-masing alat tangkap hampir tidak mungkin dilakukan pada setiap pendaratan ikan sepanjang garis pantai yang mencapai ± 81.000 km.
Oleh karena itu, 30 tahun yang lalu dilakukan sistem sampling untuk mendapatkan data statistik perikanan. Sistem ini dilakukan dengan mencatat hasil tangkap harian dari beberapa alat tangkap pada tingkat desa, hasil tangkapan harian selanjutnya dihitung dengan mengalikan hasil tangkap beberapa hari sampling dengan jumlah armada perikanan di desa, dikalikan jumlah hari melaut dari masing-masing alat tangkap.
Hasil perhitungan ini digunakan untuk menduga total hasil tangkap dalam setahun (Yamamoto, 1980 dalam Pet- Soede et. al., 1999). Berbagai studi menunjukkan kelemahan sistem statistik perikanan ini terkait dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh DKP untuk menerapkan system tersebut dengan benar dan konsisten (Dudley & Harris, 1987; Venema, 1996). Permasalahan lainnya adalah DKP belum bisa mengatasi masalah di lapangan sehubungan dengan banyaknya alat tangkap atau kegiatan penangkapan illegal, tidak diatur, dan alat yang tidak dilaporkan (IUU fishing) kepada pemerintah. Jadi, sangat jelas bahwa hasil tangkap yang didapat dari IUU fishing tidak akan ikut dihitung dalam statistik perikanan. Studi FAO yang dilaporkan oleh Venema (1996) secara khusus menyebutkan kurangnya data untuk Indonesia Bagian Timur.
Studi yang dilakukan akhir-akhir ini dengan melibatkan DKP memberikan rekomendasi: ‘sehubungan dengan kualitas data dan statistik perikanan yang ada saat ini yang masih menjadi pertanyaan, dimana data yang didapat tergantung dari sistem koleksi data berdasarkan kerangkasampling dan metodologi yang dikembangkan 30 tahun yang lalu, pemerintah sebaiknya membuat pusat data dan informasi yang sepenuhnya bertanggung jawab dalam hal koleksi, kompilasi, analisis, interpretasi, pelaporan dan penyebar-luasan statistik perikanan’ (PCI, 2001b). Sebagai kesimpulan, nilai penduga bagi MSY yang didapat dari data yang masih mengandung beberapa kelemahan ini harus mendapat perlakuan ekstra hati-hati.
Stok ikan dalam kondisi keseimbangan
Perhitungan MSY berdasarkan Schaefer bisa dilakukan dengan asumsi bahwa stok ikan berada pada kondisi keseimbangan, artinya jika usaha atau effort dibidang penangkapan dipertahankan konstan, hasil tangkap dan populasi spesies yang dieksploitasi juga akan tetap konstan. Namun pada kondisi dimana perikanan tangkap berkembang secara bertahap, populasi ikan membutuhkan waktu penyesuaian terhadap tekanan alat tangkap yang lebih banyak.
Periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan tidak pernah diketahui. Hasil penelitian terakhir mendapatkan bahwa banyak stok ikan sudah mengalami penurunan secara terus menerus sejak pertama kali ditangkap, dan populasi ikan berkurang 80% dalam 15 tahun sejak pertama kali dieksploitasi (Myers & Worm, 2003). Implikasinya adalah bahwabanyak stok populasi ikan yang tidak pernah mencapai kondisi keseimbangan. Sebagai konsekuensinya, penggunaan metode Schaefer dalam perhitungan ‘catch-effort’ akan mendapatkan nilai MSY yang jauh lebih tinggi dari kondisi yang sebenarnya (over-estimated). Contoh lain yang menunjukkan bahwa hasil tangkap jarang sekali bisa mewakili perikanan dalam kondisi keseimbangan adalah penjualan ikan karang hidup untuk memenuhi permintaan pasar Hongkong. Perikanan karang jenis ini mengalami perkembangan yang sangat cepat ketika wilayah penangkapan di sekitar Hongkong mulai terkuras (Bentley, 1999; Sadovy et. al, 2003). Sayangnya, hanya setelah kerusakan itu terjadi kita bisa menyimpulkan bahwa jumlah usaha penangkapan pada area (termasuk wilayah Indonesia Bagian Timur) yang saat ini sedang mengalami kepunahan itu terlalu tinggi. Setelah stok ikan terkuras dan kolaps, kita bias menyimpulkan bahwa hasil tangkap tidak berasal dari suatu stok dalam kondisi keseimbangan, tetapi dari suatu stok yang masih mengalami penurunan. Kebanyakan jenis perikanan tangkap di Indonesia ternyata mengeksploitasi stok ikan yang mengalami penurunan, bukan yang berada pada kondisi keseimbangan. Oleh karena itu, penduga MSY bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil tangkapan sebenarnya yang mempertahankan stok perikanan Indonesia secara berkelanjutan atau lestari.
Pada stok dalam kondisi keseimbangan, sebuah hasil tangkap yang lebih tinggi dari nilai MSY tidak akan pernah terjadi. Namun pada kenyataannya, hasil tangkap lebih tinggi dari MSY kadang bisa terjadi (perhatikan juga pada Gambar 1, terhadap dua data tangkapan dari hasil pengamatan yang mempunyai nilai lebih tinggi dari MSY), dan sering kali diartikan sebagai tanda penangkapan berlebih atau over-fishing. Walaupun total hasil tangkap (data lapang) yang didapat lebih tinggi dari MSY, tentu saja masih akan menjadi perhatian, perbedaan ini lebih banyak terjadi karena faktor ‘galat’, dimana penduga MSY bervariasi secara alami atau stok ikan juga bervariasi secara alami yang sering terjadi terutama untuk spesies-spesies yang siklus hidupnya pendek, seperti ikan lemuru atau tembang. Jika hasil tangkap didapatkan lebih tinggi dari MSY, hal ini harus dipahami sebagai bukti bahwa asumsi dalam perhitungan MSY tidak terpenuhi, dan dengan demikian, penduga terhadap MSY harus ditafsirkan dengan sangat hatihati.
Hasil tangkap-per-unit-usaha sebagai indikator besarnya (ukuran) stok
Hampir semua ahli perikanan di dunia menggunakan data hasil tangkap-per-unit-usaha dalam menduga status stok ikan. Diasumsikan bahwa ketika stok ikan mengalami penurunan, hasil tangkapan nelayan akan menurun secara bertahap. Dengan asumsi ini, ahli perikanan mengabaikan kemampuan adaptasi dan kapasitas sumberdaya nelayan. Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang didapat, kemungkinan dia akan pindah ke bagian lain dari terumbu karang dimana ikan diperkirakan masih cukup banyak (Sadovy et al., 2003).
Kadang kala, nelayan juga bisa beralih menggunakan alat tangkap yang lebih efektif, atau mencari jenis ikan lain yang masih cukup banyak. Pada skenario ini penangkapan ikan akan terus berlanjut sampai stok terkuras. Kolapsnya perikanan Cod di perairan Atlantik (Kanada) pada tahun 1990an bisa dijadikan contoh, dengan dampak ekonomi yang paling parah dan bahkan menjadi mimpi buruk dalam sejarah Negeri Kanada (Walters & Maguire, 1996).
Penafsiran terhadap penduga dari MSY
Masalah lain yang juga sering terjadi adalah interpretasi pemerintah terhadap penduga dari MSY, dan bagaimana hasil tangkapan yang didapat digunakan untuk menghasilkan rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap (Gillet, 1996). Pembuat kebijakan menafsirkan ‘hasil tangkapan’ di bawah nilai MSY sebagai tanda adanya ruang bagi perluasan atau peningkatan armada penangkapan ikan. Interpretasi tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan. Tampaknya, perbedaan antara total hasil tangkapan Indonesia saat ini yang mencapai 4,4 juta ton (2002) dengan nilai dugaan MSY sebesar 5.0 juta ton juga ditafsirkan secara keliru.
Penangkapan berlebih diartikan sebagai jumlah usaha penangkapan sedemikian tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan (waktu) untuk berkembang, sehingga total hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih rendah (Sparre & Venema, 1992 dan Gulland 1983; Gambar 1). Evaluasi terhadap status perikanan tangkap hanya bermanfaat jika kita mempertimbangkan juga bahwa jumlah usaha penangkapan dan MSY itu sendiri kurang baik sebagai sebuah target dalam pengelolaan. Sebagai gantinya, pengelolaan harus difokuskan pada perkiraan jumlah unit usaha penangkapan yang menghasilkan nilai MSY, yaitu MSE atau Usaha Maksimum Lestari.
Hampir semua analisis yang dilakukan terhadap perikanan
tangkap sebenarnya sudah menunjukkan kondisi dimana MSE sudah terlewati, sehingga
perikanan menghasilkan tangkapan yang menurun karena terjadinya tangkap lebih (Widodo, Wiadnyana, & Nugroho, 2003). Pengelola perikanan tidak memperhatikan MSE sehingga hampir tidak mempunyai strategi yang jelas tentang pembatasan usaha penangkapan. Sistem perijinan usaha yang ada saat ini bisa digunakan untuk membatasi jumlah usaha melalui pembatasan jumlah ijin usaha, namun sejauh ini belum ada ketentuan, baik untuk membatasi kapasitas penangkapan maupun prosedur untuk menghentikan perijinan ketika batas (kapasitas penangkapan) tersebut sudah tercapai.
3.2 Status perikanan tangkap Indonesia dari indikator-indikator lainnya
Suatu lokakarya yang dilakukan beberapa waktu yang lalu (Widodo, Wiadnyana, & Nugroho 2003) untuk menduga status perikanan dari 4 (empat) wilayah pengelolaan perikanan menunjukkan gejala yang jelas terjadinya penangkapan berlebih. Pada semua wilayah perikanan tangkap tersebut, para ahli menyarankan untuk melakukan pembatasan usaha (penutupan wilayah penangkapan, pembatasan ijin usaha, menurunkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan menurunkan kapasitas armada (Widodo, 2003). Namun kesimpulan tersebut tidak sejalan dengan harapan bangsa ini, yaitu meningkatnya hasil tangkapan. Lokakarya memutuskan bahwa penduga MSY hasil lokakarya adalah 6,4 juta ton (sama dengan hasil dugaan pada tahun 2001). Upaya mencapai angka tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan eksplorasi dan intensifikasi perikanan tangkap di luar wilayah studi dan dengan ekplorasi sumberdaya ‘inkonvensional’ seperti stok sumberdaya laut-dalam. Rekomendasi lainnya dari lokakarya adalah mempertahankan total usaha (effort) pada kondisi yang ada saat ini.
Meskipun lokakarya mengakui adanya tantangan dalam menentukan status perikanan tangkap Indonesia, rekomendasi dan temuan-temuan di dalamnya masih bersifat mendua: pengelolaan melalui pembatasan vs eksplorasi dan intensifikasi, dan keyakinan akan adanya stok sumberdaya yang belum dieksploitasi (tanpa dukungan pembuktian), sementara sebagian besar walau tidak semua studi menunjukkan bahwa status perikanan tangkap yang diteliti berada pada kondisi tangkap lebih atau tidak jelas. Lokakarya juga menyarankan agar pengelolaan sebaiknya memperhatikan ekosistem, bukan spesies, serta menggaris bahawi kebutuhan untuk melakukan monitoring stok ikan, habitat, dan ekosistem.
3.3 Masa depan perikanan tangkap Indonesia dan peran kawasan perlindungan laut
Dokumen kebijakan DKP meminta seluruh jajarannya untuk berpedoman pada nilai MSY (PCI, 2001b). Hal ini bisa dipahami, namun sayangnya terlepas dari saran kebijakan itu sendiri, DKP masih menggunakan nilai MSY dalam sebutan lain, yaitu ‘potensi perikanan tangkap’ dalam setiap komunikasinya – para investor potensial mungkin tidak menyadari adanya unsure ketidak-pastian dari hasil perhitungan terhadap nilai penduga dan bisa mengartikan bahwa perbedaan antara hasil tangkap tahunan yang ada saat ini dengan penduga nilai MSY sebagai dukungan untuk perluasan investasi dibidang perikanan tangkap.
Konsep MSY sudah dibuktikan tidak efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga pada berbagai perikanan di dunia. Khusus untuk Indonesia dengan karakteristik perikanan tangkap ‘multi-alat’ dan ‘multi-spesies’, hampir tidak mungkin atau paling tidak, sangat mahal sekali untuk mendapatkan data yang memenuhi kualitas dan bias digunakan untuk menduga MSY (Widodo, Wiadnyana & Nugroho, 2003). Bahkan, jika data tersedia maka hasil perhitungan tampaknya akan mendapatkan dugaan MSY yang terlalu
optimistik. Dengan demikian, sangat tepat dan sudah saatnya untuk tidak lagi berpedoman semata pada nilai MSY sebagai tujuan pengelolaan.
Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP sangat jelas menyebutkan tentang status
perikanan tangkap Indonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap yang sudah menipis dan hampir kolaps, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik, melalui peningkatan produksi yang didorong oleh pemerintah dalam 30 tahun terakhir, jelas merupakan kebijakan yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita memerlukan suatu kebijakan yang betul-betul segar untuk membuktikan terjadinya peningkatan usaha penangkapan secara tidak terkontrol di masa lalu serta untuk membalikkan kondisi over-fishing atau penangkapan berlebih (PCI, 2001b). Naskah kebijakan tersebut selanjutnya menyarankan untuk ‘menciptakan, membangun, dan meningkatkan kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan pemikiran masyarakat agar menghentikan pemikiran romantis bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis’ (PCI, 2001a).
Selain perikanan tangkap itu sendiri, pengelolaan perikanan tangkap Indonesia juga sedang mengalami krisis. Sementara sebagian besar (kalau tidak semua) kajian stok perikanan yang terpercaya menyimpulkan bahwa status perikanan tangkap Indonesia berada pada posisi belum jelas atau tangkap lebih, DKP diharapkan untuk mengelola perikanan sedemikian rupa agar mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDB dengan kesadaran bahwa masih bisa melakukan peningkatan hasil tangkap dari sumberdaya yang sudah terbatas. Pembatasan usaha secara definitif akan menyebabkan penurunan total hasil tangkap dalam jangka pendek, sehingga menyebabkan gagalnya peluang (dalam jangka sangat pendek) memberikan kontribusi terhadap sasaran DKP secara keseluruhan. Kerugian jangka pendek yang diakibatkan dari pengelolaan restriktif (bidang penangkapan) hampir tidak mungkin bisa ditutupi melalui perluasan budidaya ikan yang memerlukan investasi modal, atau eksplorasi sumberdaya yang masih belum terjamah yang mungkin pada kenyataannya tidak ada, atau kalau ada, tidak menguntungkan secara ekonomis (seperti kasus perikanan tangkap terhadap spesies ikan demersal pada beberapa wilayah penangkapan (Venema, 1996)). Satu-satunya jalan untuk memecahkan kebuntuan ini adalah dengan membangun pemahaman kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan di dalam lingkup DKP bahwa pengembangan perikanan tangkap seharusnya tidak diukur dari gambaran peningkatan produksi yang masih bisa dilakukan, tetapi pada jumlah usaha industri yang menguntungkan secara ekonomi, bisa dipertanggung jawabkan secara social dan tidak merusak lingkungan, sehingga bisa menopang penghidupan masyarakat pantai, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.
Alternatif pengelolaan untuk mengatasi kelemahan dari pendekatan MSY yang banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah pengelolaan berbasis ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring Kawasan Perlindungan Laut (Marine Preserved Areas). Definisi IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tentang kawasan perlindungan laut adalah ‘suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya’. Selain fungsinya sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman sumberdaya hayati, kawasan perlindungan laut, KPL, juga banyak dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang harus diintegrasikan kedalam perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001).
Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KPL dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami.
Alasan utama bagi sedikitnya studi lapang untuk pembuktian ilmiah tentang manfaat komersial dari kawasan perlindungan laut (KPL) adalah karena kesulitan dalam melakukan penelitian eksperimental dengan ulangan dalam skala ekologis. Namun mekanisme deduktif dari bukti pengaruh populasi ikan di dalam wilayah larang-ambil bisa juga digunakan untuk wilayah sekitarnya. Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan-ikan ekonomis penting di dalam kawasan larang-ambil dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui (Roberts & Hawkins, 2000): (1) penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, “spill-over”, (2) ekspor telur dan/atau larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar kawasan larang-ambil mengalami kegagalan. Selanjutnya, KPL bisa menjadi alat untuk perlindungan tempat-tempat sensitif, seperti agregasi pemijahan ikan khususnya ikan. Keuntungan lain dari KPL dibanding alat pengelolaan perikanan seperti pengaturan usaha, pengaturan kuota dan alat tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah di dalam kawasan bisa menjadi penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak, khususnya jika penutupan wilayah tersebut mencakup wilayah pemijahan atau pendederan. Biaya penetapan dan pengelolaan KPL cukup tinggi, namun manfaat yang didapatkan ternyata jauh lebih tinggi. Sebuah jejaring (network) KPL global dengan ukuran 20-30% dari luas laut dunia diperkirakan memerlukan biaya $5-19 miliar per tahun, namun akan menghasilkan tangkapan yang keberlanjutan senilai $ 70-80 miliar setiap tahunnya.
Jejaring KPL tersebut juga diperkirakan memberikan jasa ekosistem setara $ 4,5 – 6,7 juta setiap tahun. Total biaya yang dibutuhkan untuk membuat dan mengelola jaringan KPL ternyata lebih rendah dibandingkan dengan pembelanjaan subsidi terhadap industri perikanan yang kita ketahui tidak berkelanjutan, yaitu $15-30 miliar per tahun. Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP menyarankan untuk membuat paling tidak 10% dari total wilayah perairan laut Indonesia sebagai kawasan perlindungan laut (PCI, 2001a).
Akhir-akhir ini, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah menunjukkan usaha yang cukup kuat untuk membangun sebuah strategi pembentukan jejaring kawasan perlindungan laut di Indonesia dan telah membentuk forum terdiri dari institusi pemerintah dan non-pemerintah, disebut Komite Nasional Konservasi Laut Indonesia (Surat Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. SK 43/P3K/III/2004). Forum ini terdiri dari tim pengarah dan tim teknis dengan tiga kelompok kerja yang akan memberikan masukan teknis dalam penyusunan draft kebijakan yang difokuskan pada strategi nasional mengenai KPL, pengembangan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan, dan penyusunan kebijakan bagi konservasi spesies dan genetik. Tantangan utama yang dihadapi oleh tim teknis pada topic antara strategi nasional kawasan perlindungan laut dengan perikanan yang berkelanjutan adalah
memformulasi usulan kebijakan dalam mengembangkan perikanan tangkap yang lebih berkelanjutan melalui jejaring KPL sebagai alat di tingkat nasional dan juga pengelolaan perikanan di tingkat lokal
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Stok sumberdaya ikan pada beberapa wilayah pengelolaan perikanan berada pada kondisi tereksploitasi penuh atau bahkan mengalami penangkapan berlebih. Saran kebijakan kepada pemerintah yang diajukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mensyaratkan penurunan atau paling tidak jangan lagi menambah tekanan terhadap sumberdaya yang ada saat ini.
Namun kenyataannya masih banyak kebijakan operasional pemerintah (DKP) pada tingkat lapang yangmengupayakan peningkatan hasil tangkap melalui perluasan usaha penangkapan (effort). Pemerintah menetapkan nilai 6,4 juta ton sebagai penduga MSY. Data statistik total produksi hasil tangkap terakhir (2002) mencapai angka 4.4 juta ton. Perbedaan ini diartikan sebagai ruang untuk perluasan usaha melalui kebijakan perluasan armada penangkapan. Kebijakan penambahan armada ini sangat beresiko dengan memperhatikan bahwa perbedaan tersebut bisa juga terjadi pada kondisi stok mengalami eksploitasi berlebih serta temuan yang menunjukkan bahwa nilai MSY ternyata bervariasi.
Masa depan perikanan tangkap Indonesia, dengan demikian, akan sangat tergantung dari:
- Komitmen pemerintah (DKP) untuk menggeser kebijakan perikanan dari pengelolaan beorientasi pada pengembangan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan, bias menerima atau bahkan menginginkan hasil tangkap yang stabil, serta menurunkan jumlah usaha penangkapan kalau diperlukan
- DKP dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat menerima prinsip bahwa ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’, paling tidak untuk perikanan tangkap, tidak berlaku atau eksploitasi tidak lagi menguntungkan
- Pengelola perikanan tangkap memahami dan menerima bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkapan berlebih ke wilayah yang disebut ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’ merupakan rencana yang ‘kurang tepat’ dan bahkan menyebabkan perikanan tangkap setempat mengalami kolaps, bukan peningkatan PDB.
- Pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY yang terlalu sederhana menuju pengelolaan dengan pendekatan ekosistem, dimana di dalamnya kawasan perlindungan laut akan memainkan peranan yang sangat penting. Rekomendasi kebijakan perikanan terutama disampaikan oleh Komisi Nasional
Pengkajian stok Sumberdaya Perikanan maupun forum-forum pengkajian sejenis yang justru dibentuk oleh pemerintah. Komisi Nasional Konservasi Laut yang baru saja dibentuk bersama forum yang lainnya, juga diperkirakan akan menjadi media yang penting untuk mencapai pergeseran kebijakan seperti yang disebutkan di atas, terutama mengenai strategi pengembangan kawasan perlindungan laut sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem.



Selasa, 26 Juli 2011

Ratu Seondeok dari Silla



Seondeok (Hangul: 선덕, Sôndôk) adalah ratu Silla, salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, dari tahun 632 hingga 647 (selama 14–15 tahun).[1] Ia adalah penguasa ke-27 Silla, dan ratu pertama yang memerintah Silla.

Ditunjuk Sebagai Pewaris

Sebelum ia menjadi ratu, Seondeok dikenal sebagai Puteri Deokman (덕만(德曼)). Ia merupakan putri kedua dari ketiga putri Raja Jinpyeong. Putra kakak, Puteri Cheonmyeong, akhirnya menjadi Raja Muyeol ketika saudara perempuan Seondeok yang lainnya, Puteri Seonhwa, akhirnya menikah dengan Raja Mu dari Baekje dan menjadi ibu Raja Uija dari Baekje. Keberadaan Seonhwa menjadi suatu kontroversi karena penemuan bukti sejarah yang menunjukkan bahwa ibu Raja Uija adalah Ratu Sataek, dan bukan Seonhwa seperti yang disebutkan di dalam catatan sejarah.
Karena ia tidak memiliki keturunan laki-laki, Jinpyeong memilih Seondeok sebagai pewarisnya. Tindakan itu bukan tidak biasa, karena para wanita pada periode tersebut telah memiliki beberapa tingkat pengaruh sebagai penasehat-penasehat, permaisuri, dan wali raja. Di seluruh kerajaan, wanita sebagai kepala keluarga sejak garis matrilineal ada bersisian dengan garis patrilineal. Model Konfusius yang menempatkan wanita di dalam posisi kurang penting di dalam keluarga, tidak memiliki dampak yang besar di Korea sampai pertengahan periode Joseon pada abad ke-15. Selama kerajaan Silla, status wanita relatif tinggi, namun masih terdapat larangan di dalam perbuatan dan tindakan. Wanita di diskualifikasikan dari kegiatan yang dianggap tidak pantas bagi wanita.

Pemerintahan

Di tahun 632, Seondeok menjadi pemimpin tunggal di Silla, dan memimpin sampai tahun 647. Ia merupakan yang pertama dari ketiga pemimpin wanita di kerajaan (dua yang lainnya adalah : Jindeok dari Silla dan Jinseong dari Silla), dan kemudian dengan cepat digantikan oleh keponakannya Jindeok, yang memerintah sampai tahun 654.
Pemerintahan Seondeok merupakan masa yang kejam; pemberontakan dan perkelahian di dalam kerajaan tetangga Baekje mewarnai hari-harinya. Namun, dalam 14 tahun sebagai ratu Korea, intelijennya membuat dirinya beruntung. Ia menjaga kerajaan dengan utuh dan memperluas hubungannya dengan Cina, mengirimkan para pelajar kesana untuk belajar. Seperti Kaisar Wanita Tang, Wu Zetian, ia tertarik pada Buddhisme dan memimpin penyelesaian kuil-kuil Buddha.
Ia membangun "Menara Pengawasan Bintang," atau Cheomseongdae, yang dianggap sebagai observatorium pertama di Timur Jauh. Menara tersebut masih berdiri di ibukota Silla kuno di Gyeongju, Korea Selatan.
Bidam dari Silla konon memimpin suatu pemberontakan dengan slogan bahwa "pemimpin wanita tidak dapat memimpin negara” (女主不能善理).[2] Legenda menceritakan bahwa selama pemberontakan itu terjadi, sebuah bintang jatuh dan di tafsirkan oleh para pengikut Bidam sebagai suatu tanda berakhirnya pemerintahan ratu. Kim Yushin menganjurkan Ratu untuk menerbangkan sebuah layang-layang yang dibakar sebagai tanda bahwa bintang itu kembali ke asalnya.
Yeomjong menyatakan bahwa sekitar 10 hari setelah pemberontakan Bidam, ia beserta 30 orang pengikutnya di eksekusi (Ratu Seon Deok wafat pada tanggal 8 Januari, Bidam di eksekusi pada tanggal 17 Januari setelah Ratu Jindeok naik tahta).

Keluarga

  • Ayah : Raja Jinpyeong (眞平王 진평왕)
  • Ibu : Lady Maya dari klan Kim (摩耶夫人金氏 마야부인김씨)
  • Saudara Perempuan :
  1. Puteri Cheonmyeong (天明公主 천명공주)[3]
  2. Puteri Seonhwa
  • Saudara Ipar :
  1. Kim Yong-chun (金龍春 김용춘), Suami Puteri Cheonmyeong, Pungwolju ke-13.
  2. Jang Seo-dong (璋暑童 장서동), Suami Puteri Seonhwa (di duga; lihat penjelasan diatas), kemudian Raja Mu dari Baekje (武王 무왕).
  • Keponakan laki-laki dan perempuan :
  1. Kim Chun-chu (金春秋 김춘추), Putra Pertama Puteri Cheonmyeong dan Kim Yong-chun, Pungwolju ke-18, kemudian Raja (Taejong) Muyeol (太宗武烈王 태종무열왕).
  2. Kim Yeon-chung (金蓮忠 김연충), Putra kedua Puteri Cheonmyeong dan Kim Yong-chun.
  3. Raja Uija (義慈王 의자왕), Putra tunggal Puteri Seonhwa (di duga; lihat penjelasan diatas).
  1. Kim Yong-chun (金龍春 김용춘), suami Puteri Cheonmyeong, Pungwolju ke-13.
  2. Heumban (欽飯 흠반) - salah satu kerabat Ratu Seondeok.
  3. Eulje (乙祭 을제) - memerintah sebagai pengganti Ratu Seondeok pada saat perang. 


Minggu, 24 Juli 2011

MALARIA


Nama Dosen: Alfa Bonga S,Kp
Mata Kulia : Farmakologi

MALARIA
Add caption

DISUSUN OLEH
Nama: Abuhari Manuama
Nim: E.10 11401 160








SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS
MAKASSAR

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Penyakit Malaria dalam mata kulia Farmakologi Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk melengkapai nilai ujian final smester 3 (tingkat 1)
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
1.Ibu Alfa sebagai Dosen mata kulia Farmakologi yang telah memberi tugas sebagai pelengkap niali mata kulia tersebut.
2.Kepada teman-teman yang telah membantu berikan saran dan segenap kata untuk bisa menyelesaikan tugas ini 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG.......................................................................................1
1.1 TUJUAN.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1PENGERTIAN...............................................................................................2
2.2 SEBAB DAN GEJALA..................................................................................3
2.3 PENGOBATAN............................................................................................4
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

   Penyakit malaria adalah penyakit menular yang banyak di derita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis. Penyakit malaria banyak ditemukan pada penduduk yang tinggal di daerah rawa. Vektor yang berperan dalam penularan penyakit malaria adalah nyamuk anopheles. Plasmudium yang menyebabkan penyakit malaria berasal dari spesies Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malaria (Hiswani, 2004).

   Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa penyakit  malaria dapat dilakukan dengan berbagai metode. Salah satu metode yang digunakan untuk menemukan jenis dan stadium dari parasit penyebab malaria adalah sediaan darah malaria. Metode standar diagnosis malaria berdasarkan pada hasil pembacaan sediaan darah tipis dan sediaan darah tebal menggunakan mikroskop setelah sediaan darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa dengan menggunakan konsentrasi tertentu. Kemampuan seorang analis baik dalam membuat sediaan darah, mewarnai dan memeriksanya sangat menentukan ditemukannya parasit malaria. (Depkes, 1999).

 Sediaan darah malaria dapat dibuat dalam 2 bentuk, yaitu sediaan darah tipis dan sediaan darah tebal. Ada tidaknya plasmodium pada sediaan darah dipengaruhi oleh stadium yang sedang terjadi pada penderita. Stadium itu meliputi Stadium dingin dan stadium demam. Demam disebabkan oleh pecahnya sizon darah yang telah matang dan masuknya merozoit darah kedalam aliran darah. (Hiswani, 2004).

1.2 Tujuan
·         Tujuan Umum
Untuk dapat mengetahui apa arti penyakit malaria,gejalah,penyebab,dan bagaimana cara pengobatannya
·         Tujuan Khusus
Untuk sebagai pelengkap nilai ujian final di mata kulia FARMAKOLOGI



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Malaria adalah penyakit yang ditularkan nyamuk menular dari manusia yang disebabkan oleh protista eukariotik dari genus Plasmodium. Ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, termasuk banyak dari Sub-Sahara Afrika, Asia dan Amerika. Malaria adalah umum di daerah ini karena jumlah yang signifikan dari curah hujan dan suhu tinggi yang konsisten, hangat, suhu yang konsisten dan kelembaban yang tinggi, bersama dengan air tergenang di mana larva matang, sediakan nyamuk dengan lingkungan yang diperlukan untuk pembibitan terus menerus. penyebab penyakit ini adalah protozoa, ditemukan pada tahun 1880 oleh Charles Louis Alphonse Laveran, sedangkan ia bekerja di rumah sakit militer di Constantine, Aljazair, ia mengamati parasit dalam hapusan darah diambil dari seorang pasien yang baru saja meninggal karena malaria hasil Penyakit dari perkalian parasit malaria dalam sel darah merah, menyebabkan gejala yang biasanya termasuk demam dan sakit kepala, dalam kasus yang parah berkembang menjadi koma, dan kematian.
Empat spesies Plasmodium dapat menginfeksi dan ditularkan oleh manusia. Penyakit yang parah sebagian besar disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Malaria disebabkan oleh Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae umumnya merupakan penyakit ringan yang jarang fatal. Sebuah spesies kelima, Plasmodium knowlesi, adalah zoonosis yang menyebabkan malaria di kera tetapi juga dapat menginfeksi manusia.Penularan malaria dapat dikurangi dengan mencegah gigitan nyamuk dengan distribusi kelambu murah dan penolak serangga, atau oleh nyamuk langkah-langkah pengendalian seperti penyemprotan insektisida di dalam rumah dan mengeringkan air berdiri di tempat nyamuk bertelur. Meskipun banyak yang sedang dikembangkan, tantangan memproduksi vaksin secara luas yang tersedia yang memberikan perlindungan tingkat tinggi untuk periode yang berkelanjutan masih harus dipenuhi. Dua obat juga tersedia untuk mencegah malaria di pelancong ke negara-negara endemik malaria ( profilaksis).
Berbagai obat antimalaria yang tersedia. Dalam 5 tahun terakhir, pengobatan infeksi P. falciparum di negara-negara endemik telah diubah dengan menggunakan kombinasi obat artemisinin mengandung derivatif. Malaria berat diobati dengan kina intravena atau intramuskular atau, semakin, yang artesunat turunan artemisinin yang lebih unggul kina pada anak dan orang dewasa Resistensi telah dikembangkan untuk obat antimalaria beberapa., Terutama klorokuin.
Setiap tahun, ada lebih dari 225 juta kasus malaria, menewaskan sekitar 781.000 orang setiap tahun sesuai dengan 2010 Laporan Malaria WHO Dunia, 2.23% dari kematian di seluruh dunia. Mayoritas kematian anak-anak muda di sub-Sahara Afrika.] Sembilan puluh persen dari malaria terkait kematian terjadi di sub-Sahara Afrika. Malaria adalah umumnya terkait dengan kemiskinan, dan memang bisa menjadi penyebab kemiskinan dan hambatan utama bagi pembangunan ekonomi.
2.2 Sebab dan Gejala
Seorang pasien datang ke praktek dokter. Ketika ditanya tentang keluhannya, spontan ia menjawab, "Saya sakit malaria, Dok. Tolong kasih saya obat malaria".
Hal seperti ini lazim terjadi. Penderita memvonis dirinya menderita malaria, hanya karena ia demam, sakit kepala, atau lemah lesu. Padahal, diagnosis malaria tidak segampang itu ditegakkan.
Malaria merupakan salah penyakit infeksi tropis dengan berbagai macam gejala. Gejala yang paling menonjol adalah demam disertai menggigil, dan berkeringat. Kemudian sakit kepala, mual-muntah, diare, kadang-kadang disertai nyeri otot dan pegal-pegal.
Orang yang baru pertama kali terkena malaria (belum mempunyai imunitas terhadap malaria) biasanya akan mengalami gejala berikut :
  1. Menggigil (selama 15-60 menit). Penderita seringkali membutuhkan selimut berlapis-lapis, saking 'merasa' dinginnya.
  2. Setelah itu, timbul demam, biasanya berlangsung 2-6 jam. Suhu tubuh sekitar 37,5-40 derajad Celcius. Kadang-kadang, jika malarianya parah, suhu bisa lebih dari 40 derajad Celcius.
  3. Sehabis demam, tubuh penderita akan mengeluarkan banyak keringat. Fase ini berlangsung sekitar 2-4 jam. Jumlah keringat kadang-kadang sangat banyak, seolah-olah penderita habis mandi. Nah, setelah fase 'keringat' ini, penderita akan merasa sehat kembali. Tapi bukan sembuh. Karena parasit malaria masih bercokol dalam darah dan jaringan tubuh penderita, sehingga rangkaian gejala di atas dapat berulang kembali.
Lain lagi pada penderita malaria yang pernah terkena malaria sebelumnya, atau tinggal daerah yang banyak kasus malarianya. Gejala di atas mungkin tidak terjadi berurutan, atau bahkan tidak timbul sama sekali. Malah gejala lain yang menonjol, misalnya nyeri otot atau sakit kepala.
Selain dari gejala-gejala yang telah disebutkan, pada pemeriksaan tubuh penderita malaria, mungkin ditemukan pembesaran hati serta limpa, dan warna kuning pada kulit atau mata.
Dalam kasus-kasus yang menimbulkan keraguan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Pemeriksaan lab malaria cukup sederhana. Satu atau dua tetes darah jari diambil kemudian di'apus'kan di slide kaca. Setelah diproses (diwarnai), lalu di periksa di bawah mikroskop untuk mencari parasit malaria. Jika ada parasit, maka positif malaria.
2.3 Pengobatan
Pengobatan malaria tergantung kepada jenis parasit dan resistensi parasit terhadap klorokuin.Untuk suatu serangan malaria falciparum akut dengan parasit yang resisten terhadap klorokuin, bisa diberikan kuinin atau kuinidin secara intravena. Pada malaria lainnya jarang terjadi resistensi terhadap klorokuin, karena itu biasanya diberikan klorokuin dan primakuin.
Prinsip penanganan malaria secara umum adalah bila tanpa komplikasi diberikan peroral artesunat kombinasi dengan amodiakuin (artesdiakuin) atau coartem atau duo-cotexcin, sedangkan malaria dengan komplikasi diberikan artesunat 2,4 mg/kgbb pada jam ke 0 - 12 - 24 - 72 dan seterusnya sampai pasien bisa diterapi secara oral atau digunakan artemeter 3,2 mg/kgbb dilanjutkan dengan 1,6 mg/kgbb.










BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dengan proses pembuatan makalah tentang Penyakit Malaria dapat kami simpulkan bahwa malaria adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh nyamuk menular dari manusia yang disebabkan oleh protista eukariotik dari genus Plasmodium.Dan salah satu   Penyakit penyakit menular yang banyak di derita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis.
SARAN
Adapun saran yang saya ingin sampaikan yaitu perlu adanya peningkatan penyuluhan dan fasilitas di berbagai desa-desa tertinggal karena penyakit malaria adalah penyakit yang pada umumnya diderita oleh warga pedesaan (penyakit rakyat).